|
Belajar dari Om Thomas Alva Edison
|
Thursday, April 12, 2007 |
Selepas up-grading kemarin, ternyata aku sangat susah sekali membuat sebuah karya yang bisa dikumpulkan ke majalah yang bisa menyambungkan cita-citaku itu. Entah sudah beberapa kali saya merenung dan berfikir apa yang harus aku tulis. Padahal menurut beberapa senior, “mengetik prespektif itu paling enak dan mudah” ujar seorang senior selepas up-grading kemarin di PCIM. Aku masih termenung dan terdiam di sudut kamarku memikirkan apa yang harus aku tulis untuk Sinar Muhammadiyah. Hamparan kertas putih masih belum tergores sedikit pun oleh tinta kesayanganku, kecuali tertulis disamping atas kertas `Perspektif' by... Sedang untuk judul sendiri, aku belum menemukan apapun. "Sudah seminggu ini mencari judul kok belum ketemu juga yah, apa lagi isinya, ujar hatiku mencoba mengoreksi kemalasanku. "Mungkin kurang baca kali," sahutnya lagi sekakan-akan menjadi jaksa penuntut umum yang ingin mendakwa diriku yang memang sudah seminggu ini belum juga menyelesaikan tugas. "Ah nggak juga kok, mungkin memang perlu kursus bahasa kali," bela sisi hatiku yang lain seraya menjadi tim pembela terdakwa. Dan malampun semakin larut, aku hanya terpaku dan terdiam di depan kertas putihku ini, sehingga tak terasa ternyata aku sudah memasuki alam mimpi. Semakin lama waktu yang tersisa menjadi semakin menipis dan habis saja, tugasku belum selesai sama sekali. Padahal teman-teman yang lain sudah menyelesaikan tugas mereka masing-masing. "Memang menulis ini sangat-sangat, dan sangat sulit yah!" ujar hatiku. "Memang sih, kelihatanya gampang, tapi ternyata susah juga nih” sisi lain dalam hati. Aku teringat dengan pesan ketua FLP Mesir waktu fathrah hadhanah , "tips menulis itu hanya tiga: Pertama, menulis. Kedua, menulis. Dan yang ketiga, menulis lagi dan menulis lagi." Pesan itu sejalan dengan peribahasa Indonesia yang mengatakan, “Alah Bisa Karena Biasa.” Semakin lama aku termenung dan tenggelam dalam lamunanan panjang, aku pun jadi teringat dengan Thomas Alva Edison yang sewaktu beliau meneliti bola lampu pijar. Sewaktu beliau melakukan percobaan membuat lampu pijar. Ternyata bukan hanya dengan sekali masa percobaaan dia harus lalui, bahkan beliau harus melewatkan masa percobaaan sebanyak 999 dengan persentasi 999 kali kegagalan juga. Beliau baru merasakan keberhasilan ketika menginjak percobaan yang ke 10.000. Sejalan dengan ditemukanya bola pijar tersebut; ternyata memberikan dampak yang sangat besar bagi peradaban manusia. Yaitu merubah seluruh peradaban dunia yang gelap gulita menjadi peradaban yang terang benderang. Memberikan manfaat yang besar bagi jalannya peradaban umat manusia. Secara otomatis kejahatanpun bisa dikurangi dengan adanya penerangan tersebut. Dan semenjak itu, beliau berlanjut menjadi seorang ilmuwan yang selalu menghasilkan karya yang berguna bagi manusia, dan salah satunya adalah penemuan piringan hitam. Disamping itu, beliau juga berjasa dalam hal penyempurnaan teknologi telepon yang ditemukan pertama kali oleh Alexander Graham Bell. Dengan telepon, kita bisa merasakan nikmatnya berbicara dengan orang yang kita cintai tanpa harus terbatasi oleh ruang dan waktu. Tahukah, sewaktu ia ditanya tentang resep keberhasilannya tersebut? Beliau hanya berkata, "bakat itu hanyalah satu persen saja. Dan yang sisanya 99 persen adalah tetesan keringat." Tahukah, ketika ia ditanya tentang pengalaman percobaan penemuannya yang membuahkan kegagalan? Beliau hanya menjawab: “Dengan kegagalan tersebut, aku telah menemukan 10.000 cara yang berbeda untuk menemukan bola lampu pijar”. Kongklusinya, ternyata menjadi orang yang berhasil itu harus memiliki jiwa dan semangat yang tak pernah mengenal putus asa. Karena, setiap kegagalan yang telah beliau lalu ternyata bukan menjadi sebuah kendala yang bisa menghambat cita-cita seorang Thomas Alfa Edison yang sewaktu kecil pernah dianggap oleh guru SD-nya sebagai anak yang idiot. Dan ternyata, beliau bisa menepis semua anggapan-anggapan itu dengan sebuah bukti yang nyata; dengan hasil-hasil yang memberikan manfaat pada manusia. "Aduh, kenapa yah kok aku malah putus asa sih, sedang Om Thomas yang telah banyak melalui berbagai banyak macam kegagalan saja, nggak pernah putus asa tuh!" ujarku dalam hati. “Dan bukannya Allah Swt menciptakan manusia sejak awalnya memang tidak mengetahui apapun. Namun, dengan usahanya sendiri calon manusia ini mencoba dan terus mencoba untuk bisa menjadi manusia yang hakiki," sahut hati kecilku. Didasari oleh pengalaman Om Alfa Edison tadi, kuputuskan malam ini juga untuk mencoba memberanikan diri; menulis apa saja yang ada di otakku ini, meski harus gagal 999 kali atau mungkin lebih. Dan segera aku serahkan ke majalah tercintaku ini, Sinar Muhammadiyah |
ditulis oleh Mush`ab @ 12:42 AM
|
|
|
|
|